Source: Pixabay.com/viarami
Marak diperbincangkan istilah cancel culture, terutama di social media. Istilah ini merujuk pada aktivitas untuk boikot sesuatu maupun seseorang. Tentu saja, kerugian yang diakibatkan karena cancel culture ini bisa begitu besar, bahkan mampu merenggut nyawa seseorang. Budaya inipun mulai diterapkan di negara-negara besar dunia.
Cancel culture pernah dibahasa pada New York Timer dengan mangatakan bahwa istilah ini berawal dari rasa ketertarikan pada sebuah hal yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu di China, namanya renrou sousou. Saluran penggemar ini berkembang, hingga akhirnya menemui titik dimana mereka justru melihat berbagai tayangan tentang kesalahan-kesalahan yang dianggap sebagai idola. Kemudian, mereka melakukan identifikasi, hingga ke data pribadi yang dilakukan oleh penyimpang.
Seseorang atau sesuatu yang dianggap bersalah akan dihakimi secara besar-besaran, melalui media. Mereka akan dihakimi secara verbal, dikuliti habis-habisan, dan akhirnya dikeluarkan dari komunitas tertentu. Tidak hanya itu saja, para pengguna internet yang turut melakukan aktivitas tersebut nantinya akan menuntut permintaan maaf pada si penyimpang yang bersalah tersebut. Selanjutnya, budaya ini merebak hingga ke Amerika Serikat dan munculah cancel culture atau budaya pembatalan.
Source: Pixabay.com/fotorieth
Cancel culture memberikan dampak bagi siapapun atau apapun yang mengalaminya, baik dan buruk. Dalam hal psoitif, cancel culture bisa memperbaiki dan meningkatkan suatu kualitas, memperbaiki kesalahan, dan mengatasi kesenjangan. Di samping itu, cancel culture juga bisa berakibat negative dengan komentar-komentar yang mampu merusak mental.
Tindakan cancel culture yang dilakukan secara berlebihan akan menjurus pada bullying. Apalagi jika hal tersebut dilakukan secara verbal lewat social media dan menggunakan identitas anonym. Tidak sedikit cancel culture merugikan jiwa dan raga bagi yang mengalaminya. Sedangkan untuk memburu pelaku bullying-pun akan terasa sulit.
Di Negara-negara besar, cancel culture sudah diterapkan secara masif, misal dunia hiburan di Korea Selatan. Di Negara Gingseng ini, masyarakat tidak segan-segan untuk memboikot aktor, idola, hingga drama yang menurut mereka âmenyimpang.â Penyampaian kritik sampai hujatan disampaikan secara terang-terangan melalui forum, social media, dan mendatangi langsung agensi atau di jalan-jalan. Akibatnya, banyak bintang yang mulai meredup sebab adanya cancel culture, baik meredup dan memilih banting setir ke karir lain atau justru pergi meninggalkan dunia dengan cara suicide. Namun, ada juga yang memperbaiki kulitas diri karena menerima hujatan, contohnya seorang idola yang terkena DUI, masih tetap bertahan, meskipun ada yang harus dikorbankan.
Source: Pixabay.com/cocoparisienne
Baru-baru ini di Indonesia, budaya pembatalan turut dilakukan pada salah satu film remake, âA Business Proposalâ yang tayang awal Februari lalu. Bukan tentang jalan cerita, masyarakat menerapkan cancel culture pada film tersebut karena actor-aktornya dianggap blunder. Masyarakat tidak menyukai bagaimana para actor menyampaikan pernyataannya pada media. Hasilnya, film ini harus turun layar dalam kurun waktu kurang dari 5 hari. Fenomena ini mampu menjadi evaluasi bagi dunia film Indonesia di masa depan untuk lebih baik.
Cancel culture adalah budaya yang cukup berperan pada perubahan di tatanan kehidupan. Berawal dari rasa suka, berubah menjadi sebuah tuntutan yang berlebihan, hingga menimbulkan kerugian. Namun, di sisi lain, cancel culture bisa memberikan banyak pembelajaran untuk terus berkembang dan memperbaiki kesalahan di masa lalu.
Comments:
Leave a Reply