Sosialisasi yang digelar pada Kamis, 26 Juni 2025 ini merupakan momentum penting bagi pelaku seni dan budaya. Turut hadir dalam kegiatan ini sejumlah tokoh nasional dan daerah seperti Wali Kota Bandung Muhammad Farhan, Direktur Jenderal Perlindungan Kebudayaan dan Tradisi Restu Gunawan, Ketua Dewan Pengawas RRI Anwar Mujahid, dan musisi kawakan Gilang Ramadan. Mereka bersama-sama menyoroti urgensi perlindungan hukum terhadap musik tradisional Indonesia yang selama ini rawan terhadap klaim budaya asing dan eksploitasi komersial tanpa izin.
Musik tradisi merupakan bagian dari warisan budaya tak benda yang memiliki nilai historis, filosofis, dan estetika yang luar biasa. Kekayaan ini adalah identitas bangsa yang tidak hanya perlu dilestarikan secara fisik, tetapi juga dilindungi secara hukum agar tidak hilang, disalahgunakan, atau dikomersialisasi tanpa memperhatikan hak kolektif masyarakat adat.
Dalam sambutannya, Direktur Jenderal Perlindungan Kebudayaan dan Tradisi, Restu Gunawan, mengemukakan bahwa perlindungan terhadap musik tradisi harus dilakukan secara menyeluruh, mulai dari pengenalan, pencatatan, hingga pengelolaan komersial yang adil. Ia menegaskan bahwa budaya adalah bagian penting dari pembangunan bangsa, dan kekayaan intelektual berbasis tradisi bisa menjadi pendorong ekonomi kreatif jika dikelola secara tepat.
Sebagai bagian dari kegiatan sosialisasi, juga diadakan diskusi publik bertajuk "Kebijakan Pencatatan Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) dan Komersialisasi Musik Tradisional Jawa Barat". Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi antara Kementerian Kebudayaan, Kementerian Hukum dan HAM, serta para pemangku kepentingan di bidang budaya dan hukum.
Diskusi tersebut menghadirkan sejumlah narasumber kunci yang memiliki pengalaman dan keahlian dalam bidang hukum, budaya, dan ekonomi kreatif, antara lain Kepala Divisi Pelayanan Hukum Kanwil Kemenkumham Jawa Barat Hemawati BR Pandia; perwakilan dari ISBI Bandung Suhendi Afriyanto; perwakilan dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) Chandra Darusman; serta Gilang Ramadhan selaku Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah IX. Moderator dalam diskusi ini adalah Direktur Pemberdayaan Nilai Budaya dan Fasilitasi Kekayaan Intelektual, Arhamuddin Ali.
Salah satu isu utama yang dibahas adalah pentingnya pencatatan KIK sebagai bukti sah kepemilikan komunal. Ini menjadi krusial mengingat stagnasi diplomasi internasional di forum seperti World Intellectual Property Organization (WIPO), yang hingga kini belum mengakui secara eksplisit kekayaan budaya komunal. Oleh karena itu, pendekatan nasional yang tegas dan terstruktur diperlukan untuk menjamin hak-hak komunitas budaya lokal.
Pencatatan ini juga menjadi dasar penting untuk penyaluran royalti berbasis hak kolektif. Dalam skema distribusi yang diusulkan, komunitas budaya akan menerima 70% dari pendapatan komersial, sementara 20% diberikan kepada Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan 10% digunakan untuk pelestarian budaya. Skema ini dinilai sebagai bentuk keadilan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.
Hemawati BR Pandia menekankan bahwa pencatatan dan komersialisasi musik tradisi tidak hanya menyangkut aspek hukum, tetapi juga menyangkut dimensi keadilan budaya. Menurutnya, ini adalah bentuk pengakuan dan pemberdayaan ekonomi bagi komunitas pencipta dan pelestari budaya.
Gilang Ramadhan, sebagai pelaku seni yang terlibat langsung dalam pelestarian musik tradisional, memberikan testimoni mengenai bagaimana musik tradisional sering kali diadopsi tanpa izin atau kompensasi. Ia menyambut baik adanya gerakan sistematis untuk melindungi karya musik tradisi melalui perlindungan KI.
Diskusi juga menyoroti tantangan teknis dalam pengelolaan musik tradisi, seperti kurangnya dokumentasi, minimnya pemahaman hukum di kalangan pelaku budaya, hingga persoalan administratif dalam pencatatan kekayaan komunal. Pemerintah daerah diharapkan dapat lebih aktif mengambil peran, termasuk mendorong Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk terlibat dalam pengelolaan dan pemasaran kekayaan budaya lokal.
Di tengah era globalisasi dan digitalisasi, musik tradisi menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan eksistensinya. Namun, di sisi lain, teknologi juga menawarkan peluang baru dalam hal dokumentasi, distribusi, hingga monetisasi karya. Oleh karena itu, sinergi antara pelaku budaya, pemerintah, akademisi, dan sektor swasta menjadi sangat penting.
Kegiatan ini juga menarik perhatian dari kalangan akademisi dan mahasiswa yang tertarik pada kajian hukum, budaya, dan kekayaan intelektual. Mereka menganggap sosialisasi ini sebagai langkah positif untuk menciptakan generasi muda yang peduli dan sadar akan pentingnya perlindungan terhadap warisan budaya.
Sejumlah rekomendasi lahir dari diskusi ini, di antaranya perlunya pembentukan pusat dokumentasi musik tradisi di setiap daerah, penyederhanaan proses pencatatan KIK, penyusunan panduan komersialisasi yang adil, serta pelatihan rutin bagi komunitas budaya tentang hak kekayaan intelektual.
Kegiatan ini merupakan bentuk nyata komitmen pemerintah dalam melindungi dan memberdayakan pelaku budaya. Dengan regulasi yang tepat dan dukungan publik, musik tradisi Indonesia tidak hanya dapat bertahan, tetapi juga berkembang sebagai kekuatan ekonomi budaya yang membanggakan.
Upaya ini diharapkan tidak hanya berhenti di Bandung, melainkan dapat direplikasi ke seluruh wilayah Indonesia. Hanya dengan perlindungan hukum yang kuat, musik tradisi Indonesia bisa mendunia dengan tetap menghargai akar budayanya.
Sosialisasi ini bukan sekadar acara formalitas, tetapi merupakan langkah strategis dalam menyusun peta jalan perlindungan kekayaan budaya Indonesia. Para peserta menyambut positif kegiatan ini dan berharap akan ada tindak lanjut nyata, baik dalam bentuk regulasi maupun pelatihan berkelanjutan.
Di tengah kekhawatiran akan semakin lunturnya identitas budaya di tengah arus modernisasi, kegiatan seperti ini menjadi pengingat bahwa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa dan layak diperjuangkan.
Comments:
Leave a Reply