source: Google Image
Di tengah cepatnya laju dunia kerja modern, generasi Z atau Gen-Z tampil sebagai wajah baru produktivitas yang penuh warna. Lahir dan tumbuh di era digital, Gen-Z dikenal adaptif, multitasking, dan tech savvy. Namun, cara mereka bekerja jauh berbeda dibandingkan generasi sebelumnya. Produktivitas bagi Gen-Z bukan sekadar soal menyelesaikan pekerjaan, melainkan juga tentang keseimbangan hidup, nilai personal, dan kreativitas. Lalu seperti apa sebenarnya gaya kerja produktif ala Gen-Z?
Pertama, Gen-Z menggunakan teknologi secara maksimal untuk mendukung produktivitas mereka. Mulai dari laptop lengkap dengan software manajemen waktu, aplikasi pengingat, to-do list hingga komunikasi virtual mereka gunakan untuk mengelola pekerjaan secara terstruktur. Bagi mereka, dunia fisik dan siber adalah satu kesatuan. Karena itu, mereka tak segan menggunakan AI, template, ataupun aplikasi planning untuk menyelesaikan tugas lebih efisien. Tapi ingat, terlalu mengandalkan tools juga tidak baik.
Kedua, mereka tidak menyamakan produktivitas tipikal 9 to 5 dengan kesuksesan. Mereka lebih memilih fleksibilitas daripada pola kerja konvensional. Gen-Z percaya, bekerja produktif tidak harus berarti kantor jam 8 pagi. Mereka memilih mengatur waktu sendiri sepanas dengan ritme kerjanya, beberapa lebih aktif malam hari, sementara yang lain produktif di waktu pagi. Gen-Z menilai hasil kerja lebih penting daripada caranya.
Ketiga, Gen-Z sangat menjaga kesehatan mental. Mereka memahami bahwa stres dan burnout akan mempengaruhi kualitas kerja dan relasi kerja. Mereka sering menyisipkan ââ¬Åmicro breakââ¬Â dalam jam kerja, seperti berjalan sebentar, meditasi, atau istirahat singkat di antara tugas. Tidak terkejut jika Gen-Z memilih kerja dengan kompensasi sedang, asalkan punya momentum untuk recharging dan dirinya menjadi lebih seimbang. Tapi jangan sampai meninggalkan pekerjaan dengan alasan ââ¬Åhealingââ¬Â ya, Sobat Glamours.
Baca juga: Apa Itu Brave? Berikut Cara Penerapannya Dalam Menjaga Kesehatan Mental
Gen-Z juga sangat menjunjung otentisitas dalam dunia kerja. Mereka cenderung tidak suka kultur kerja yang kaku atau formalitas berlebihan. Mereka memilih bekerja dalam lingkungan yang memberikan kebebasan berekspresi sekaligus bisa ââ¬Åmenjadi diri sendiriââ¬Â. Itulah mengapa Gen-Z menyukai ruang kerja yang inklusif, kolaboratif, dan memberikan ruang berkembang sesuai dengan skill mereka.
Dalam dunia kerja saat ini, Gen-Z juga diakui unggul dalam kolaborasi virtual. Mereka terbiasa bekerja dalam tim lintas daerah bahkan nasional melalui platform seperti Slack, Zoom, atau Google Workspace. Mereka sering memanfaatkan fitur-fitur online untuk brainstorming, berbagi dokumen, diskusi, tanpa harus bertemu langsung. Bagi mereka, jarak tidak terlalu penting, jika kerjasama bisa efektif dengan alat tersebut.
Di samping itu, Gen-Z juga menggagas budaya kerja yang lebih bermakna. Mereka sering mencari pekerjaan atau proyek yang sejalan dengan nilai-nilai hidup mereka, seperti keberlanjutan, social justice, atau pemberdayaan komunitas. Mereka menginginkan lebih dari sekadar jabatan dan status; mereka menginginkan dampak. Dalam hal inilah Gen-Z terlihat mendorong transformasi dalam organisasi agar lebih peduli terhadap isu-isu sosial dan lingkungan.
Gaya belajar Gen-Z juga sangat berpengaruh pada cara mereka bekerja. Mereka cenderung learner secara mandiri, menggunakan platform seperti YouTube, Coursera, atau TikTok untuk belajar skill baru. Mereka akan tetap update keterampilan sesuai dengan tuntutan zaman, dan ini merupakan bagian dari proaktivitas Gen-Z dalam menjadi profesional yang kompetitif. Terkadang hal ini yang membuat Gen-Z bisa meraih informasi secara cepat.
Meskipun terlihat fleksibel dan bebas, Gen-Z juga memiliki disiplin tertentu dalam cara bekerja mereka. Banyak di antaranya yang menggunakan metode seperti pomodoro technique yang membagi pekerjaan dalam blok-blok waktu konsentrasi dan diselingi waktu istirahat yang teratur. Mereka juga memanfaatkan journaling, aplikasi note, dan planner untuk menuliskan prioritas pekerjaan harian, mingguan, sampai progress proyek.
source: Google Image
Hal menarik lainnya dari Gen-Z adalah kecenderungan mereka tidak tertarik dengan kerja yang monoton. Mereka menginginkan variasi, dinamika, dan ruang untuk berkreasi. Bagi mereka, bekerja produktif adalah ketika dapat menyelesaikan tugas dengan elegan dan bermakna, bukan hanya semata selesai. Tidak mengherankan jika Gen-Z sering menciptakan cara-cara gaya baru untuk membuat pekerjaan mereka lebih menyenangkan, dari penggunaan musik fokus, visualisasi, hingga alat tambahan unik.
Gen-Z juga memiliki kesadaran akan branding pribadi di dunia kerja. Mereka sadar bahwa dengan portofolio digital, konten media sosial, dan link profesional seperti di LinkedIn, mereka dapat menunjukkan eksistensi dan potensi karya mereka pada dunia. Sebagian besar dari Gen-Z bahkan membangun karier ganda melalui side hustle, seperti konten creator, freelancer, atau entrepreneur digital yang dijalankan selain pekerjaan utama.
Karena itu, organisasi dan perusahaan mulai melirik cara bekerja Gen-Z sebagai sumber inspirasi untuk menyegarkan budaya kerja dan struktur manajemen. Perusahaan yang inovatif menyediakan ruang kerja fleksibel, cuti berbasis mental health, dan program pengembangan personal untuk mendukung produktivitas Gen-Z. Peralihan ini memang tidak mudah, tetapi terbukti efektif untuk mendongkrak kinerja kolektif di era digital.
Tidak hanya itu, Gen-Z juga menuntut transparansi dan komunikasi yang terbuka. Mereka suka umpan balik yang konstruktif, dan komunikasi dua arah dengan supervisor dalam menyelesaikan tugas. Mereka bukan tertarik pada instruksi yang kaku, tetapi pada motivasi, pemahaman mendasar, dan kolaborasi yang jujur. Mereka sering berperan aktif dalam diskusi internal serta ide progress yang memberikan kontribusi nyata kepada target tim. Tapi ingat, terlalu banyak berbicara dan negosiasi juga kurang baik.
Baca juga: Tips Dapur: Saus Salted Caramel Anti Bosan!
Bagi Gen-Z, produktivitas juga berarti akses terhadap pengetahuan. Tidak terkejut jika seseorang Gen-Z akan bertanya dalam forum, mengecek info lewat AI, bahkan menonton video edukatif ketika mengerjakan pekerjaan. Mereka menganggap bahwa menggali informasi adalah bagian dari proses kerja yang bernilai, dan bukan sikap malas.
Namun, tidak terse mudah kelihatannya, tantangan dalam mengelola produktifitas juga dihadapi oleh Gen-Z. Salah satunya yaitu ââ¬Åoverconnectedââ¬Â, di mana informasi yang berlimpah justru memicu overthinking dan distraksi. Saat inilah Gen-Z perlu berlatih menetapkan batasan, misalnya: detoks digital sesekali, atur notifikasi dengan bijak, dan prioritaskan tugas berdasarkan kepentingan bukan sekadar impuls.
Produktivitas ala Gen-Z bukan lagi semua tentang kerja keras, tetapi tentang kerja cerdas. Kemampuan dalam adaptasi, penguasaan teknologi, sampai langkah inovatif adalah senjata mereka dalam menjawab tantangan zaman. Namun, di atas semua itu, Gen-Z berhasil mendefinisikan ulang apa arti dari kinerja yang berkelanjutan dengan menekankan kesehatan mental, keaslian identitas, dan makna personal di balik pekerjaan.
Dengan semakin terbukanya dunia kerja dan sumber daya pendukung, Gen-Z berada di garis depan untuk merancang budaya kerja yang baru. Mereka bukan hanya pekerja masa depan, tetapi katalisator perubahan bagi sistem kerja yang lebih humanis, inklusif, dan berkelanjutan. Sebagai simpulan, bekerja produktif ala Gen-Z adalah perpaduan keseimbangan, hak atas diri sepenuhnya, dan semangat kreatif yang tidak pernah luntur dan inilah yang menjadikannya begitu spesial di antara dinamika dunia kerja modern.
Baca juga: Tips Dapur: Resep Jagung Ribs Dengan Saus yang Creamy
Comments:
Leave a Reply